Selasa, 29 Desember 2015

Prosa: Mural Dekat Lampu Lalu Lintas


(image from Google)



     Mural coretan rasa di tembok dekat lampu lalu lintas, saksi bisu pengaruh kemajuan pesat teknologi negeri, yang kuat akan bertahan menuju garis akhir hayat dan yang lemah tertinggal di garis awal lahir, sampai hembusan nafasnya yang terakhir.

    Seorang ibu renta menggendong buah hatinya, satu dari sekian korban pijakan jaman yang melangkah cepat, hanya mampu ulurkan tangan tuanya, di setiap pengendara yang berhenti sejenak, sepersekian menit mengoleksi koin dari mata-mata yang kebetulan tersentuh iba, selalu begitu dan sama seperti itu di setiap waktu, di benaknya hanya satu, mengais sebutir nasi untuk mengisi perut, demi keluarga yang ia kasihi.


     Mural coretan asa di tembok kumal dekat lampu lalu lintas jalan raya, tak pernah bicara bahagia hanya lara yang disaksikannya, debu globalisasi melekat di cat yang selalu terbasah air mata, tertutup sudah pesan singkat yang awalnya ia banggakan, tentang kesejahteraan untuk semua kalangan, mengenai harapan indah bagi negeri yang katanya berdiri dengan hati nurani.


     Anak kecil bekerja mainkan kerincingnya, buah tangan susunan bekas tutup botol air bersoda, yang ia bisa cuma nyanyikan sumbang do re mi fa sol la si do, jauh beda dengan penyanyi kelas atas di kotanya, tapi yang ia inginkan sedikit uang bukannya penghargaan platinum, asal cukup untuk sebungkus nasi guna lewati laparnya hari, mengenai gaya busana ataupun kecanggihan alat komunikasi, ia tak sedikitpun lukiskan peduli.


     Mural coretan masa, di tembok dekat lampu lalu lintas negeri yang berbudaya, hanya menjadi bahan diskusi di meja manusia-manusia penguasa, tak pernah mampu menyentuh nurani mereka, dan pada akhirnya, hanya ditindaklanjuti dengan penghapusan berdalih ketertiban, topeng sterilisasi untuk ibu renta peminta-minta, kostum rehabilitasi buat anak kecil penyanyi jalanan, dan cat netralisasi bagi mural idealisme tangan peduli sang seniman jaman.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar