Selasa, 05 April 2011

Prosa: Berita Tentang Kepala-Kepala di Negeri Ini

          Tak pernah habis, saat bicara teoritis. Sengit menjerit dua pria paruh baya, membedah kepala dan hamburkan otak. Genangi dan kotori lantai tempat ibadah. Alot, tak mampu kukunyah. Seperti paha ayam yang kumakan, sambil saksikan mereka. Saling bicara tentang agama dan kepercayaan. Tentang konstitusi dan solusi di atasnya, sesat tak sesat, atau mereka sendiri yang tersesat?

          Satu lagi yang tak kunjung berujung. Polemik tentang wacana pancung kepala. “Saya tak ada duanya, tak tertara, persetan mereka semua!” berujar pria tambun dengan hati di atas piring, tetap duduk bergeming memandang miring. Keras, tak mampu buatku nyaman. Layaknya bangku di warung ini. Tak terhitung sudah beberapa kali menggeser pantat, sambil terus saksikan. Bola mimpi yang bergulir sana-sini dan pada akhirnya masuk ke jaring sendiri. “Yah, kalah lagi” gumamku.

          Tak habis pikir, sesosok pria dewasa dengan pisau di tangan kanan. Masih tentang kepala, bedanya yang ini berlencana. Coba-coba mengutak-atik sebentuk cenderamata. Lembar demi lembar relakan hilang satu organ. Dilema, seperti nikmati komedi ironi. Aku tak tahu apa harus tertawa atau berduka. Tapi satu yang pasti, aku jadi ekstra hati-hati. Curiga ke setiap benda dan manusia disekitarku, mereka gampang meledak akhir-akhir ini.

          Satu lagi yang tak terjabarkan. Sebuah kepala yang sangat besar dengan kawat mencekik leher. Memerah padam berusaha bernafas dengan tenang. Kala bising tajuk asing mendesing di telinga. Gusar membantah tapi buat semua seolah-olah benar adanya. “Hmm, saya turut prihatin, tapi Pak, ada bencana lebih besar di luar sana, lebih penting daripada isu miring di dalam sini” pikirku sambil meronggoh saku celana, mengeluarkan uang seratus ribuan. Berpikir keras dari mana datangnya, mudah-mudahan bukan dari pejabat yang kujabat tangannya tadi. “Oh, aku baru ingat, uang ini dari mesin atm sebelah rumah, syukurlah ini dari gajiku bulan ini, bukan hasil Ko…ah sudahlah”. kusodorkan uang itu tuk membayar sarapan pagi ini.

          Dan berita tentang semua kepala pun telah berakhir. Sebelum meninggalkan warung, kusentuh kepalaku, syukurlah masih ada. Dalam perjalanan menuju kantor aku tetap berharap, semua kepala di negeri ini masih mampu terjaga dengan baik. Apa jadinya kalau negara ini bagai ular tak berkepala?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar